Pages

Selasa, 21 Januari 2014

ruang publik



Bentuk dari ruang publik bergantung pada pola dan susunan massa bangunan. Menurut sifatnya ruang umum dapat dibedakan menjadi dua , yaitu:
  1. Ruang Tertutup Umum, yaitu ruang yang terdapat di dalam bangunan.
  1. Ruang Publik Umum, yaitu ruang yang terdapat di luar bangunan.
Definisi ruang publik umum dapat diuraikan sebagai berikut :
  • Bentuk dasar dari ruang publik umum selalu terletak di luar massa bangunan.
  • Dapat dimanfatkan dan dipergunakan oleh setiap orang.
  • Memberi kesempatan untuk bermacam – macam kegiatan.
Contoh ruang publik umum  adalah jalan, pedestrian, taman lingkungan, plaza, taman kota, dan taman rekreasi.
Definisi ruang publik khusus dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Bentuk dasar ruang publik selalu terletak di luar massa bangunan.
  1. Dimanfaatkan untuk kegiatan terbatas dan dipergunakan untuk keperluan khusus / spesifik.
Contoh ruang publik khusus adalah taman rumah tinggal , taman lapangan upacara, daerah lapangan terbang , dan daerah untuk latihan kemiliteran. Menurut kegiatannya, ruang publik terbagi atas dua jenis , yaitu ruang publik aktif dan ruang publik pasif.
  1. Ruang publik Aktif, adalah ruang publik yang mempunyai unsur – unsur kegiatan di dalamnya. Misalkan bermain, olahraga, jalan-jalan, dan lain-lain. Ruang publik ini dapat berupa plaza, lapangan olahraga, tempat bermain anak dan remaja, penghijauan tepi sungai sebagai tempat rekreasi, dan lain-lain.
  1. Ruang publik Pasif, adalah ruang publik yang di dalamnya tidak mengandung unsur – unsur  kegiatan manusia. Misalkan penghijauan tepian jalur jalan, rel kereta api, bantaran sungai, ataupun penghijauan daerah yang bersifat alamiah. Ruang publik ini berfungsi sebagai keindahan visual dan fungsi ekologis semata.
Ditinjau dari Segi Bentuk Menurut Rob Rimer (Urban Space) bentuk ruang publik secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
  1. Ruang publik berbentuk memanjang (koridor) pada umumnya hanya mempunyai batas pada sisi-sisinya, misalkan, bentuk ruang publik jalan, dan bentuk ruang publik sungai.
  1. Ruang publik berbentuk membulat pada umumnya mempunyai batas di sekelilingnya, misalkan, bentuk ruang lapangan upacara, bentuk ruang area rekreasi, dan bentuk ruang area lapangan olahraga.
Berdasarkan sifatnya ada dua jenis ruang publik, yakni :
  1. 1. Ruang publik Lingkungan adalah ruang publik atau ruang yang disengaja dibuat untuk memenuhi fungsi tertentu yang terdapat pada suatu lingkungan yang sifatnya umum
  1. 2. Ruang publik Antar Bangunan adalah ruang publik yang tidak disengaja yang terbentuk oleh massa bangunan. Ruang publik ini mempunyai fungsi antara dapat bersifat umum ataupun pribadi sesuai dengan fungsi bangunannya.
Menurut Utermann dan Small terdapat tiga fungsi ruang publik bila dihubungkan dengan bidang arsitektur , yaitu :
  1. Ruang publik untuk kenyamanan (jalan setapak , jalur hijau , taan dan daerah bermain).
  1. Ruang publik serius (area parker dan ruang – ruang pelayanan lainnya).
  1. Ruang publik untuk menciptakan bentuk dan citra.
Adapun ruang terbuang yakni ruang mati atau ruang “sisa” yang ada pada bangunan adalah ruang yang di dalam desain harus dihindari. Bila ini terjadi maka perancangan ruang yang diolah menandakan belum adanya pemikiran secara utuh terhadap pemanfaatan tapak secara keseluruhan. Ruang luar menurut kesan fisiknya terbagi atas :
  1. Ruang positif, yairu suatu ruang publik yang diolah dengan perletakan massa bangunan/ objek tertentu yang melingkupinya dan memberikan manfaat disebut ruang positif. Biasanya di dalamnya terkandung berbagai kepentingan dan kegiatan manusia.
  1. 2. Ruang negatif, yaitu ruang publik yang menyebar dan tidak berfungsi dengan jelas serta bersifat negative , biasanya terjadi secara spontan tanpa kegiatan tertentu. Terbentuk dengan tidak terencanakan, tidak terlingkup dan tidak termanfaatkan dengan baik sesuai dengan kebutuhan. Dapat pula terbentuk akibat adanya ruang yang terbentuk antara dua atau lebih bangunan yang tidak direncanakan khusus sebagai ruang publik.

















Ruang publik yang dimaksud secara umum pada sebuah kota, menurut Project for Public Spaces in New York tahun 1984, adalah bentuk ruang yang digunakan manusia secara bersama-sama berupa jalan, pedestrian, taman-taman, plaza, fasilitas transportasi umum (halte) dan museum.
Pada umumnya ruang publik adalah ruang terbuka yang mampu menampung kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang ini memungkinkan terjadinya pertemuan antar manusia untuk saling berinteraksi. Karena pada ruang ini seringkali timbul berbagai kegiatan bersama, maka ruang-ruang terbuka ini dikategorikan sebagai ruang umum.
Sedangkan menurut Roger Scurton (1984) setiap ruang publik memiliki makna sebagai berikut: sebuah lokasi yang didesain seminimal apapun, memiliki akses yang besar terhadap lingkungan sekitar, tempat bertemunya manusia/pengguna ruang publik dan perilaku masyarakat pengguna ruang publik satu sama lain mengikuti norma-norma yang berlaku setempat.
Meskipun sebagian ahli mengatakan umumnya ruang publik adalah ruang terbuka, Rustam Hakim (1987) mengatakan bahwa, ruang umum pada dasarnya merupakan suatau wadah yang dapat menampung aktivitas tertentu dari masyarakatnya, baik secara individu maupun secara kelompok, dimana bentuk ruang publik ini sangat tergantung pada pola dan susunan massa bangunan. Menurut sifatnya, ruang publik terbagi menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Ruang publik tertutup : adalah ruang publik yang terdapat di dalam suatu bangunan.
2. Ruang publik terbuka : yaitu ruang publik yang berada di luar bangunan yang sering juga disebut ruang terbuka (open space).
Menurut Zoer’aini (1997) tujuan umum pembangunan suatu kota adalah untuk pertahanan hidup manusia yang terdiri atas dua aspek yaitu tetap hidup dan mempertinggi nilai hidup. Secara umum dapat dikemukakan bahwa pembangunan kota mempunyai fungsi dan tujuan sebagai berikut :
1. Kehadiran sebuah kota memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan penduduknya agar dapat bertahan dan melanjutkan hidup, serta meningkatkan kualitas kehidupan.
2. Komponen-komponen kota adalah penduduk, pemerintah, pembangunan fisik, sumberdaya alam dan fungsi.
3. Penduduk kota meliputi jumlah (dipengaruhi oleh tingkat kelahiran, kematian, migrasi), dan kecenderungan penyebaran (umur, jenis kelamin, etnik, sosial ekonomi, agama dan lainnya.
4. Pentingnya kehadiran flora dan fauna.
5. Pembangunan fisik yang meliputi tipe bentuk (konfigurasi), kepadatan (densiti), differensiasi dan konektiviti.
6. Sumberdaya terdiri dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia.
7. Kota berfungsi terutama sebagai pusat pemukiman dan pelayanan kerja, rekreasi dan transportasi.
8. Pada umumnya kota menghadapi masalah ekonomi, masalah tata ruang dan masalah linhgkungan hidup.
Menurut Eko Budihardjo (1998) ruang terbuka adalah bagian dari ruang yang memeiliki definisi sebagai wadah yang menampung aktivitas manusia dalam suatu lingkungan yang tidak mempunyai penutup dalam bentuk fisik.
Ruang terbuka memiliki beberapa fungsi sebagai berikut :
1.      Fungsi umum :
·         Tempat bermain dan berolah raga, tempat bersantai, tempat komunikasi sosial, tempat peralihan, tempat menunggu
·         Sebagai ruang terbuka, ruang ini berfungsi untuk mendapatkan udara segar dari alam.
·         Sebagai sarana penghubung antara suatu tempat dengan tempat lain.
·         Sebagai pembatas atau jarak di antara massa bangunan.
2. Fungsi ekologis :
·         Penyegaran udara, menyerap air hujan, pengendalian banjir, memelihara ekosistem tertentu.
·         Pelembut arsitektur bangunan.
Terbentuknya ruang terbuka dipengaruhi oleh beberapa faktor baik oleh alam maupun lingkungan buatan, dibedakan sebagai berikut :
a. Pembatas, dimana ruang selalu terbentuk oleh tiga elemen pembentuk ruang yaitu bidang alas, bidang langit-langit dan bidang pembatas/dinding
b. Skala, dalam arsitektur menunjukkan perbandingan antara elemen bangunan atau ruang dengan elemen tertentu yang ukurannya sesuai dengan kebutuhan manusia. Skala terdiri atas 2 (dua) macam :
·         Skala manusia, perbandingan ukuran elemen atau ruang dengan dimensi tubuh manusia
·         Skala generik, perbandingan elemen bangunan atau ruang terhadap elemen lain yang berhubungan dengan sekitarnya.
c. Bentuk, yang terdiri atas bentuk dua dimensi dan tiga dimensi. Dapat juga dikategorikan dalam dua bagian bentuk alami dan buatan. Menurut penampilan terbagi atas : bentuk teratur, bentuk lengkung dan bentuk tidak teratur.






RUANG TERBUKA dan RUANG TERBUKA HIJAU

I. RUANG TERBUKA (OPENSPACE)

Sampai saat ini pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan yakni terwujudnya ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Menurunnya kualitas permukiman di perkotaan bisa dilihat dari kemacetan yang semakin parah, berkembangnya kawasan kumuh yang rentan dengan bencana banjir/longsor serta semakin hilangnya ruang terbuka (Openspace) untuk artikulasi dan kesehatan masyarakat.

Sebagai wahana interaksi sosial, ruang terbuka diharapkan dapat mempertautkan seluruh anggota masyarakat tanpa membedakan latar belakang sosial,  ekonomi, dan budaya. Aktivitas di ruang publik dapat bercerita secara gamblang seberapa pesat dinamika kehidupan sosial suatu masyarakat.

Ruang terbuka menciptakan karakter masyarakat kota. Tanpa ruang-ruang publik masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat maverick yang nonkonformis-individualis-asosial, yang anggota-anggotanya tidak mampu berinteraksi apalagi bekerja sama satu sama lain. Agar efektif sebagai mimbar, ruang publik haruslah netral. Artinya, bisa dicapai (hampir) setiap penghuni kota. Tidak ada satu pun pihak yang berhak mengklaim diri sebagai pemilik dan membatasi akses ke ruang publik sebagai sebuah mimbar politik.

Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun  waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman kota, hutan dan sebagainya.  Dilihat dari sifatnya ruang terbuka bisa dibedakan menjadi ruang terbuka privat (memiliki batas waktu  tertentu untuk mengaksesnya dan kepemilikannya bersifat pribadi, contoh halaman rumah tinggal), ruang terbuka semi privat (ruang  publik yang kepemilikannya pribadi namun bisa diakses langsung oleh masyarakat, contoh Senayan, Ancol)  dan ruang terbuka umum (kepemilikannya oleh pemerintah dan bisa diakses langsung oleh masyarakat tanpa batas  waktu tertentu, contoh alun-alun, trotoar). Selain itu ruang terbuka pun bisa diartikan sebagai ruang interaksi (Kebun Binatang, Taman rekreasi, dll).

Ditinjau dari pengertian di atas, ruang terbuka tidak selalu harus memiliki bentuk fisik (baca: lahan dan lokasi) definitif. Dalam bahasa arsitektur, ruang terbuka yang telah berwujud fisik ini sering juga disebut sebagai ruang publik, sebutan yang sekali lagi menekankan aspek aksesibilitasnya.

Stephen Carr dalam bukunya Public Space, ruang publik harus bersifat responsif, demokratis, dan  bermakna. Ruang publik yang responsif artinya harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan  kepentingan luas. Secara demokratis yang dimaksud adalah ruang publik itu seharusnya dapat dimanfaatkan masyarakat umum tanpa harus terkotak-kotakkan akibat perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya.  Bahkan, unsur demokratis dilekatkan sebagai salah satu watak ruang publik karena ia harus dapat  dijangkau (aksesibel) bagi warga dengan berbagai kondisi fisiknya, termasuk para penderita cacat tubuh  maupun lansia.

Ruang-ruang terbuka  atau ruang-ruang publik ditinjau dari bentuk fisiknya dapat rupa Ruang Terbuka Hijau dan/atau Ruang Terbuka Binaan (Publik atau Privat)


II.  RUANG TERBUKA HIJAU  (Green Openspaces)

Secara definitif, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat  tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya  pertanian. Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota.

Sejumlah areal  di  perkotaan, dalam beberapa dasawarsa terakhir  ini,  ruang publik,  telah tersingkir akibat pembangunan gedung-gedung yang cenderung berpola “kontainer” (container  development) yakni bangunan yang secara sekaligus dapat menampung berbagai aktivitas sosial ekonomi, seperti Mall, Perkantoran, Hotel, dlsbnya, yang berpeluang menciptakan kesenjangan antar lapisan masyarakat. Hanya orang-orang kelas menengah ke atas saja yang “percaya diri” untuk  datang ke tempat-tempat semacam itu.

Ruang terbuka hijau yang ideal adalah 30 % dari luas wilayah. Hampir disemua kota besar di Indonesia, Ruang terbuka hijau saat ini baru mencapai 10% dari luas kota. Padahal ruang terbuka hijau diperlukan untuk kesehatan, arena bermain, olah raga dan komunikasi publik. Pembinaan ruang terbuka hijau harus mengikuti struktur nasional atau daerah dengan standar-standar yang ada.

Contoh, Curtibas, sebuah kota di Brazil yang menjadi bukti keberhasilan penataan ruang yang mengedepankan RTH di perkotaan. Melalui berbagai upaya penataan ruang seperti pengembangan pusat perdagangan secara linier ke lima penjuru kota, sistem transportasi, dan berbagai insentif pengembangan kawasan, persampahan dan RTH, kota tersebut telah berhasil meningkatkan rata-rata luasan RTH per kapita dari 1 m2 menjadi 55 m2 selama 30 tahun terakhir. Sebagai hasilnya kota tersebut sekarang merupakan kota yang nyaman, produktif dengan pendapatan per kapita penduduknya yang meningkat menjadi dua kali lipat. Hal tersebut menunjukkan bahwa anggapan pengembangan RTH yang hanya akan mengurangi produktivitas ekonomi kota tidak terbukti.

Kebijaksanaan pertanahan di perkotaan yang sejalan dengan aspek lingkungan hidup adalah jaminan terhadap kelangsungan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau ini mempunyai fungsi “hidro-orologis”, nilai estetika dan seyogyanya sekaligus sebagai wahana interaksi sosial bagi penduduk di perkotaan. Taman-taman di kota menjadi wahana bagi kegiatan masyarakat untuk acara keluarga, bersantai, olah raga ringan dan lainnya. Demikian pentingnya ruang terbuka hijau ini, maka hendaknya semua pihak yang terkait harus mempertahankan keberadaannya dari keinginan untuk merobahnya.



Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) terdiri dari Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) Dan Ruang Terbuka  Hijau Binaan (RTH Binaan).

Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, di dominasi oleh tanaman yang tumbuh secara alami atau tanaman budi daya. Kawasan hijau lindung terdiri dari cagar alam di daratan dan kepulauan, hutan lindung, hutan wisata, daerah pertanian, persawahan, hutan bakau, dsbnya.

Ruang Terbuka Hijau Binaan (RTHB) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi oleh perkerasan buatan dan sebagian kecil tanaman.
Kawasan/ruang  hijau terbuka binaan sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara ruang terbangun dan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai paru-paru kota, peresapan air, pencegahan polusi  udara dan perlindungan terhadap flora



III.  RUANG TERBUKA BINAAN  (Built Openspaces) 
Ruang Terbuka Binaan atau Built Openspaces, terdiri dari Ruang Terbuka Binaan Publik (RTBPU) Dan Ruang Terbuka Binaan Privat (RTBPV).
Ruang Terbuka Binaan Publik (RTBP) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi keseluruhan oleh perkerasan.
Ruang Terbuka Binaan Publik makro antara lain: ruang jalan, kawasan bandar udara, kawasan pelabuhan laut, daerah rekreasi, dan Ruang Terbuka Binaan Publik mikro seperti mall di lingkungan terbatas, halaman mesjid, halaman gereja, plaza di antara gedung perkantoran dan kantin.

Ruang Terbuka Binaan Privat (RTBPV) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbatas/ pribadi.
Ruang Terbuka Binaan Privat antara lain: halaman rumah tinggal dengan berbagai luasan persil

Bagan Struktur Ruang Terbuka


RUANG TERBUKA
BINAAN PRIVAT
(RTBPV)




RUANG TERBUKA
BINAAN PUBLIK
(RTBPU)




RUANG TERBUKA
OPENSPACE





RUANG TERBUKA
HIJAU LINDUNG
(RTHL)




RUANG TERBUKA
HIJAU BINAAN
(RTH BINAAN)




RUANG TERBUKA
BINAAN
(RTB)




Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, di dominasi oleh tanaman yang tumbuh secara alami atau tanaman budi daya.
Kawasan hijau lindung terdiri dari cagar alam di daratan dan kepulauan, hutan lindung, hutan wisata, daerah pertanian, persawahan, hutan bakau, dsbnya.




Ruang Terbuka Binaan Publik (RTBP) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi keseluruhan oleh perkerasan.

Ruang Terbuka Binaan Publik makro antara lain: ruang jalan, kawasan bandar udara, kawasan pelabuhan laut, daerah rekreasi,

dan Ruang Terbuka Binaan Publik mikro seperti mall di lingkungan terbatas, halaman mesjid, halaman gereja, plaza di antara gedung perkantoran dan kantin.




RUANG TERBUKA
HIJAU
(RTH)




Ruang Terbuka Hijau Binaan (RTHB) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi oleh perkerasan buatan dan sebagian kecil tanaman.

Kawasan/ruang  hijau terbuka binaan sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara ruang terbangun dan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai paru-paru kota, peresapan air, pencegahan polusi  udara dan perlindungan terhadap flora

Adapun kawasan ruang terbuka hijau binaan dimanfaatkan untuk fasilitas umum rekreasi dan olahraga taman, kebun hortikultura, hutan kota, taman di lingkungan perumahan, pemakaman umum, jalur hijau umum, jalur hijau pengamanan sungai, jalur hijau pengamanan kabel tegangan tinggi, dan termasuk bangunan pelengkap atau kelengkapannya





Ruang Terbuka Binaan Privat (RTBPV) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbatas/ pribadi.

Ruang Terbuka Binaan Privat antara lain: halaman rumah tinggal dengan berbagai luasan persil.


IV.       PENDEKATAN KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN FUNGSINYA

Pendekatan ini didasarkan pada bentuk-bentuk fungsi yang dapat diberikan oleh ruang terbuka hijau terhadap perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan, atau dalam upaya mempertahankan kualitas yang baik.

a.       Daya Dukung Ekosistem

Perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau dilandasi pemikiran bahwa ruang terbuka hijau tersebut merupakan komponen alam, yang berperan menjaga keberlanjutan proses di dalam ekosistemnya. Oleh karena itu ruang terbuka hijau dipandang memiliki daya dukung terhadap keberlangsungan lingkungannya. Dalam hal ini ketersediaan ruang terbuka hijau di dalam lingkungan binaan manusia minimal sebesar 30%.

b.       Pengendalian Gas Berbahaya dari Kendaraan Bermotor

-          Gas-gas yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor sebagai gas buangan bersifat menurunkan kesehatan manusia (dan makhluk hidup lainnya), tertama yang berbahaya sekali adalah dari golongan Nox, CO, dan SO2. Diharapkan ruang terbuka hijau mampu mengendalikan keganasan gas-gas berbahaya tersebut, meskipun ruang terbuka hijau sendiri dapat menjadi sasaran kerusakan oleh gas tersebut. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan adalah mengadakan dan mengatur susunan ruang terbuka hijau dengan komponen vegetasi di dalamnya yang mampu menjerat maupun menyerap gas-gas berbahaya. Penelitian yang telah dilakukan di Indonesia (oleh Dr. Nizar Nasrullah) telah menunjukkan keragaman kemampuan berbagai jenis pohon dan tanaman merambat dalam kaitannya dengan kemampuan untuk menjerat dan menyerap gas-gas berbahaya tersebut. Perkiraan kebutuhan akan jenis vegetasi sesuai dengan maksud ini tergantung pada jenis dan jumlah kendaraan, serta susunan jenis dan jumlahnya.

-          Sifat dari vegetasi di dalam ruang terbuka hijau yang diunggulkan adalah kemampuannya melakukan aktifitas fotosintesis, yaitu proses metabolisme  di dalam vegetasi dengan menyerap gas CO2, lalu membentuk gas oksigen. CO2 adalah jenis gas buangan kendaraan bermotor yang berbahaya lainnya, sedangkan gas oksigen adalah gas yang diperlukan bagi kegiatan pernafasan manusia. Dengan demikian ruang terbuka hijau selain mampu mengatasi gas berbahaya dari kendaraan bermotor, sekaligus menambah suplai oksigen yang diperlukan manusia. Besarnya kebutuhan ruang terbuka hijau dalam mengendalikan gas karbon dioksida ini ditentukan berdasarkan target minimal yang dapat dilakukannya untuk mengatasi gas karbon dioksida dari sejumlah kendaraan dari berbagai jenis kendaraan di kawasan perkotaan tertentu.

c.       Pengamanan Lingkungan Hidrologis

-          Kemampuan vegetasi dalam ruang terbuka hijau dapat dijadikan alasan akan kebutuhan keberadaan ruang terbuka hijau tersebut. Dengan sistem perakaran yang baik, akan lebih menjamin kemampuan vegetasi mempertahankan keberadaan air tanah. Dengan semakin meningkatnya areal penutupan oleh bangunan dan perkerasan, akan mempersempit keberadaan dan ruang gerak sistem perakaran yang diharapkan, sehingga berakibat pada semakin terbatasnya ketersediaan air tanah.

-          Dengan semakin tingginya kemampuan vegetasi dalam meningkatkan ketersediaan air  tanah, maka secara tidak langsung dapat mencegah  terjadinya peristiwa intrusi air laut ke dalam sistem hidrologis yang ada, yang dapat menyebabkan kerugian berupa penurunan kualitas air minum dan terjadinya korosi/ penggaraman pada benda-benda tertentu.



d.       Pengendalian Suhu Udara Perkotaan
-          Dengan kemampuan untuk melakukan kegiatan evapo-transpirasi, maka vegetasi dalam ruang terbuka hijau dapat menurunkan tingkat suhu udara perkotaan. Dalam skala yang lebih luas lagi, ruang terbuka hijau menunjukkan kemampuannya untuk mengatasi permasalahan ‘heat island’ atau ‘pulau panas’, yaitu gejala meningkatnya suhu udara di pusat-pusat perkotaan dibandingkan dengan kawasan di sekitarnya.
-          Tingkat kebutuhan ruang terbuka hijau untuk suatu kawasan perkotaan bergantung pada suatu nilai indeks, yang merupakan fungsi regresi linier dari persentase luas penutupan ruang terbuka hijau terhadap penurunan suhu udara. Jika suhu udara yang  ditargetkan telah ditetapkan, maka melalui  indeks tersebut akan dapat diketahui luas penutupan ruang terbuka hijau minimum yang harus dipenuhi. Namun yang harus dicari terlebih dahulu adalah nilai dari indeks itu sendiri.

e.       Pengendalian Thermoscape di Kawasan Perkotaan

-          Keadaan panas suatu lansekap (thermoscpe) dapat dijadikan sebagai suatu model untuk perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau. Kondisi Thermoscape ini tergantung pada komposisi dari komponen-komponen penyusunnya. Komponen vegetasi merupakan komponen yang menunjukan struktur panas yang rendah, sedangkan bangunan, permukiman, paving, dan konstruksi bangunan lainnya merupakan komponen dengan struktur panas yang tinggi. Perimbangan antara  komponen-komponen dengan struktur panas rendah dan tinggi tersebut akan menentukan kualitas kenyamanan yang dirasakan oleh manusia. Guna mencapai keadaan yang diinginkan oleh manusia, maka komponen-komponen  dengan struktur panas yang rendah (vegetasi dalam ruang terbuka hijau) merupakan kunci utama pengendali kualitas thermoscape yang diharapkan. Keadaan struktur panas komponen-komponen dalam suatu keadaan thermoscape ini dapat diukur dengan mempergunakan kamera infra merah.

-          Keadaan panas suatu ruang lansekap yang dirasakan oleh manusia merupakan indikator penting dalam menilai suatu struktur panas yang ada. Guna memperoleh keadaan yang ideal, maka diperlukan keadaan struktur panas yang dirasakan nyaman oleh manusia. Dengan demikian, terdapat suatu korelasi antara komponen-komponen penyusun struktur panas dalam suatu keadaan thermoscape tertentu, dan rasa panas oleh manusia. Secara umum dinyatakan bahwa komponen-komponen dengan struktur panas rendah dirasakan lebih nyaman dibandingkan dengan struktur panas yang lebih tinggi.

f.         Pengendalian Bahaya-Bahaya Lingkungan

-          Fungsi ruang terbuka hijau dalam mengendalikan bahaya lingkungan terutama difokuskan pada dua aspek penting : pencegahan bahaya kebakaran dan perlindungan dari keadaan darurat berupa gempa bumi.

-          Ruang terbuka hijau dengan komponen penyusun utamanya berupa vegetasi mampu mencegah menjalarnya luapan api kebakaran secara efektif, dikarenakan vegetasi mengandung air yang menghambat sulutan api dari sekitarnya. Demikian juga dalam menghadapi resiko gempa bumi yang kuat dan mendadak, ruang terbuka hijau merupakan tempat yang aman dari bahaya runtuhan oleh struktur bangunan. Dengan demikian, ruang terbuka hijau perlu diadakan dan dibangun ditempat-tempat strategis di tengah-tengah lingkungan permukiman.

V.         PENDEKATAN KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN FUNGSINYA
Pendekatan ini didasarkan atas satu atau lebih manfaat yang dapat diperoleh oleh pengguna, terutama di kawasan perkotaan. Secara umum manfaat  yang diinginkan adalah berupa perolehan kondisi dan atau suasana yang sifatnya membangun kesehatan jasmani dan rohani manusia.
a.       Peningkatan kesehatan dan kesegaran lingkungan
b.       Penciptaan susunan ruang vista
c.        Penciptaan ruang bagi pendidikan lingkungan.




5.1.   Pola Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Beberapa Kota Besar
Pola pengembangan ruang terbuka hijau di berbagai kota memiliki keragaman penanganan yang disesuaikan dengan kondisi fisik wilayah, pola hidup masyarakat, dan konsistensi kebijakan pemerintah.
Berikut akan diuraikan beberapa kasus pengembangan ruang terbuka hijau kota sebagai bahan komparasi untuk memperoleh masukan yang komprehensif mengenai rumusan bentuk pengaturan yang akan dihasilkan.

5.1.2           Ruang Terbuka Hijau di Luar Negeri
Kesadaran pembangunan perkotaan berwawasan lingkungan di negara-negara maju telah berlangsung dalam hitungan abad. Pada jaman Mesir Kuno, ruang terbuka hijau ditata dalam bentuk taman-taman atau kebun yang tertutup oleh dinding dan lahan-lahan pertanian seperti di lembah sungai Efrat dan Trigis, dan taman tergantung Babylonia yang sangat mengagumkan, The Temple of Aman Karnak,  dan taman-taman perumahan.

Selanjutnya bangsa Yunani dan Romawi mengembangkan Agora, Forum, Moseleum dan berbagai ruang kota untuk memberi kesenangan bagi masyarakatnya dan sekaligus lambang kebesaran dari pemimpin yang berkuasa saat itu.
Berikutnya pada jaman Meldevel, pelataran gereja yang berfungsi sebagai tempat berdagang, berkumpul sangat dominan sebelum digantikan jaman Renaisance yang glamour dengan plaza, piaza dan square yang luas dan hiasan detail serta menarik. Seni berkembang secara optimal saat ini, sehingga implementasi keindahan dan kesempurnaan rancangan seperti Versailles dan kota Paris menjadi panutan dunia.
Gerakan baru yang lebih sadar akan arti lingkungan melahirkan taman kota skala besar dan dapat disebut sebagai pemikiran awal tentang sistem ruang terbuka kota. Central Park New York oleh Frederick Law Olmested dan Calvert Voux melahirkan profesi Arsitektur Lansekap yang kemudian mengembang dan mendunia.
Melihat kenyataan tersebut tampaknya kebutuhan ruang terbuka yang tidak hanya mengedepankan aspek keleluasaan, namun juga aspek kenamanan dan keindahan di suatu kota sudah tidak dapat dihidari lagi, walaupun dari hari ke hari  ruang terbuka hijau kota menjadi semakin terdesak. Beberapa pakar mengatakan bahwa ruang terbuka hijau tidak boleh kurang dari 30%, Shirvani (1985), atau 1.200 m2 tajuk tanaman diperlukan untuk  satu orang, Grove (1983).
Bagaimana kota-kota di Mancanegara menghadapi hal ini, berikut diuraikan beberapa kota-kota yang dianggap dapat mewakili keberhasilan Pemerintah Kota dalam pengelolaan ruang terbuka hijau kota.
Singapura, dengan luas 625 Km2 dan penduduk 3,6 juta pada tahun 2000 dan kepadatan 5.200 jiwa/ km2, diproyeksikan memiliki ruang terbangun mencapai 69% dari luas kota secara keseluruhan. Dalam rencana digariskan 24% atau 177 Km2 sebagai ruang terbuka, sehingga standar ruang terbukanya mencapai 0,9 ha per 1.000 orang. 
Tokyo, melakukan perbaikan ruang terbuka hijau pada jalur hijau jalan, kawasan industri, hotel dan penutupan beberapa jalur jalan. Walaupun luas kota Tokyo sangat terbatas, namun Pemerintah kota tetap mengusahakan taman-taman tersebut, yang memiliki standar 0,21 ha per 1.000 orang.
Sementara itu, pendekatan penyediaan ruang terbuka hijau yang dilakukan di Bombay – India, dapat pula dijadikan masukan awal untuk dapat memahami Hirarki Ruang Terbuka Hijau di lingkungan permukiman padat.
Menurut Correa, (1988), dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa apabila  diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial tercermin di dalam 4 (empat) unsur utama, yaitu :
·         Ruang keluarga yang digunakan untuk keperluan pribadi
·         Daerah untuk bergaul/ sosialisasi dengan tetangga
·         Daerah tempat pertemuan warga
·         Daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama seluruh warga masyarakat

Penelitian ini lebih lanjut mengungkapkan bahwa diperkirakan 75% fungsi ruang terbuka hijau dapat tercapai. Hal ini dikarenakan padatnya tingkat permukiman sehingga ruang terbuka berfungsi menjadi daerah interaksi antar individu yang sangat penting bahkan dibutuhkan.

Jakarta dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, mencapai 8.000.000 jiwa, merupakan kenyataan. Oleh karenanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam menentukan besarnya Ruang Terbuka Hijau pada kawasan permukiman padat.

Untuk menentukan standar RTH perlu dibuatkan suatu penelitian berdasarkan studi banding standar yang berlaku di negara lain.

Kondisi Ruang Terbuka Hijau Kota-Kota Besar


No.

Kota

Populasi (juta jiwa)

RTH      (m2/jiwa)


1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Singapura
Baltimore
Chicago
San Fransisco
Washington DC
Muenchen
Amsterdam
Geneva
Paris
Stocholm
Kobe
Tokyo

2,70
0,93
3,37
0,66
0,76
1,27
0,81
0,17
2,60
1,33
1,40
11,80

7,0
27,0
8,80
32,20
45,70
17,60
29,40
15,10
8,40
80,10
8,10
2,10

Sumber : Liu Thai Ker, 1994

Dalam rangka optimalisasi distribusi penyediaan ruang terbuka hijau kota, contoh kasus pengembangan pembangunan pertamanan yang diterapkan di Roterdam (A.B Grove dan R.W. Cresswell dalam City Landscape) dapat dikemukakan tabel dibawah ini:

Ruang Terbuka Hijau Kota Roterdam terbagi sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut ini : 
Tabel Pembagian Ruang Terbuka Hijau Kota Roterdam


Unit

Jenis Ruang Terbuka Hijau

Keterangan


1

Ruang Terbuka Hijau di Lokasi Perumahan (House Block Greenspace)

Luas = + 50 – 5000m2
Jarak Tempuh, max = 250 m
Lokasi : di dalam area perumahan
Standard : 2,8 – 3,7 m2/ penduduk


2

Ruang Terbuka Hijau di Bagian Kota (Quarter Greenspace)

Luas = + 5000m2 (4 Ha)
Jarak Tempuh, Max = 400 m
Lokasi : radius + 300 – 500 m
Standard : 3,6 – 4,5 m2/ penduduk


3

Ruang Terbuka Hijau Di Wilayah Kota (District Greenspace)

Luas = + min 8 Ha
Jarak tempuh, max = 800 m
Lokasi : di wilayah kota
Standar : 3,7 – 4,8 m2/ penduduk
Ruang Terbuka ini melayani 2 s/d 3 ruang terbuka hijau bagian wilayah kota


4

Ruang Terbuka Hijau Kota (Town Greenspace)

Luas = 20 – 200 Ha
Dapat berfungsi sebagai daerah rekreasi
Standar : 9 – 12,8 m2/ penduduk



5.1.3.         Ruang Terbuka Hijau di Dalam Negeri
Hampir semua studi mengenai perencanaan kota (yang dipublikasikan dalam bentuk rencana umum tata ruang kota dan pendetailannya) menyebutkan bahwa kebutuhan ruang terbuka di perkotaan berkisar antara 30% hingga 40%, termasuk di dalamnya bagi kebutuhan jalan, ruang-ruang terbuka perkerasan, danau, kanal, dan lain-lain. Ini berarti keberadaan ruang terbuka hijau (yang merupakan
sub komponen ruang terbuka) hanya berkisar antara 10 % – 15 %.

Kenyataan ini sangat dilematis bagi kehidupan kota yang cenderung berkembang sementara kualitas lingkungan mengalami degradasi/kemerosotan yang semakin memprihatinkan. Ruang terbuka hijau yang notabene diakui merupakan alternatif terbaik bagi upaya recovery fungsi ekologi kota yang hilang, harusnya menjadi perhatian seluruh pelaku pembangunan  yang dapat dilakukan melalui gerakan sadar lingkungan, mulai dari level komunitas  pekarangan hingga komunitas pada level kota.

Di Surabaya, kebutuhan ruang terbuka hijau yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah sejak tahun 1992 adalah 20 – 30%. Sementara kondisi eksisting ruang terbuka hijau baru mencapai kurang dari 10% (termasuk ruang terbuka hijau pekarangan). Hasil studi yang dilakukan oleh Tim Studi dari Institut Teknologi 10 November Surabaya tentang  Peranan Sabuk Hijau Kota Raya tahun 1992/1993 menyebutkan bahwa luas RTH berupa taman, jalur hijau, makam, dan lapangan olahraga adalah + 418,39 Ha, atau dengan kata lain pemenuhan kebutuhan RTH baru mencapai 1,67 m2/penduduk. Jumlah ruang terbuka hijau tersebut sangat tidak memadai jika perhitungan standar kebutuhan dilakukan dengan menggunakan hasil proyeksi Rencana Induk Surabaya 2000 saat itu yaitu 10,03 m2/penduduk.

Di Jogyakarta, luas ruang terbuka hijau kota berdasarkan hasil inventarisasi Dinas Pertamanan dan Kebersihan adalah 51.108 m2 atau hanya sekitar 5,11 Ha (1,6% dari luas kota), yang terdiri dari 62 taman, hutan kota, kebun raya, dan jalur hijau. Bila jumlah luas tersebut dikonversikan dalam angka rata-rata kebutuhan penduduk, maka setiap penduduk Yogyakarta hanya menikmati 0,1 m2 ruang terbuka hijau.

Dibandingkan dengan dua kota yang telah disebutkan di atas, barangkali pemenuhan kebutuhan ruang terbuka hijau bagi penduduk di Kota Bandung masih lebih tinggi. Hingga tahun 1999, tiap penduduk Kota Bandung menikmati + 1,61 m2 ruang terbuka hijau. Angka ini merupakan kontribusi eksisting ruang terbuka hijau yang mencover Kota Bandung dengan porsi + 15% dari total distribusi pemanfaatan  lahan Kota.




DAFTAR PUSTAKA

Anonimous,  1989.  Laporan Dinas Pertamanan DKI 1988 – 1989.  Dinas Pertamanan DKI
Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, Depdagri, Ruang Terbuka Hijau Kota. Jakarta, 1990
Danisworo, M, 1998, Makalah Pengelolaan kualitas lingkungan dan lansekap perkotaan  di indonesia dalam menghadapi dinamika abad XXI.
Danoedjo,S. 1990., Menuju Standar Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Kota Dalam Rangka Melengkapi Standar Nasional Indonesia. Direktur Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
Hester R.T,  1975  Neighborhood Space.  Husting son and Rose.
 Jurnal Arsitektur Lansekap Indonesia nomor 04 tahun 1998.
Laurie. M, 1975. An Introduction to Landscape Architecture. American Publisher.
Newton N,T, 1971. Design On the Land. (The Development Of Landscape Architecture).
Pemerintah DKI Jakarta, Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Tahun 1991. Jakarta, Maret 1992.
Pemerintah Kotamadya DT II Ambon, Aspek Pertamanan Dalam Program Trotoarisasi Kota Ambon. Ambon, 1990.
Pemerintah Kotamadya DT II Malang,, Sejarah Perencanaan Kota Malang Sejak Jaman Kolonial Dan Perkembangannya Ditinjau Dari Aspek Pertamanan. Jakarta, 23 Agustus 1990.
Pemerintah Kotamadya DT II Surabaya, Langkah Kebijakan dan Pengalaman Praktis Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Di Surabaya. Jakarta, 1990.
Rustam Hakim, Thesis Analisis Kebijakan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota DKI Jakarta, Institut Teknologi Bandung, 2000.
Rustam Hakim, 1995, Peran Arsitektur Lansekap Dalam Wilayah Perkotaan, FALTL Universitas Trisakti, Jakarta 
Rustam Hakim, 1988, Unsur unsur Perancangan dalam Arsitektur Lansekap, Bina Aksara, Jakarta.
Rustam Hakim, 1996, Tahapan dan Proses Perancangan dalam Arsitektur Lansekap, penerbit Bina Aksara Jakarta

Rustam Hakim, 2004, Arsitektur Lansekap,Manusia, Alam dan Lingkungan, penerbit Bina Aksara Jakarta
Dusseldorp, D.B.M.W.Van, 1981. Participation in Planed Development : Influence by Government of Developing Contries of Local Level in Rural Areas.
Susanto A., 1993. Gerakan Penghijauan Sejuta Pohon Menuju Jakarta Berwawasan Lingkungan. Dinas Bina Program Dinas Pertanaman DKI Jaya.
Hester R.T,  1975  Neighborhood Space.  Husting son and Rose.
Laurie. M, 1975. An Introduction to Landscape Architecture. American Publisher.
Liliawati, E, Mudjono, 1998, Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23  tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,  Penerbit Harvarindo.
Newton N,T, 1971. Design On the Land. (The Development Of Landscape Architecture).
Robinette, J., 1983.  Lanscape Planning For Energy Conservation. Van Nostrand Reinhold Co., New York.
Soemarwoto, O., 1983.  Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Jambatan Jakarta.
Walter, JK Stephen, 1993, Enterprise Government And The Public, McGrawHill Inc.











APLIKASI PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BANGUNAN
:: TATA RUANG, SIRKULASI, PENCAHAYAAN, TATA UDARA (PENGHAWAAN)
A. FAKTOR BANGUNAN YANG BAIK :
  1. FUNGSIONAL (ruang yang terbentuk dapat digunakan optimal, memenuhi syarat sehat, kenyamanan)
  1. STRUKTUR (kokoh dan pemakai ruang merasa aman)
  1. INDAH (Estetis)
B. Dasar-dasar Perencanaan yang Memenuhi Kaidah Fungsi :
  1. Memenuhi fungsi  bangunan (Gambaran kegiatan, dimana kegiatan tersebut membutuhkan tempat/ wadah/ruang untuk berlangsungnya kegiatan tersebut).
  1. Dapat menampung kegiatan
  1. Kebutuhan ruang untuk semua proses kegiatan terpenuhi (pengelompokan ruang, zoning, hubungan ruang, luas ruang dsb)
  1. Aksessibilitas – sirkulasi mudah, aman dan nyaman (horizontal, vertikal)
C. Pengaruh Fungsi :
  1. Fungsi dapat dikategorikan sebagai penentu bentuk atau panduan menuju bentuk.
  1. Fungsi menunjukkan ke arah mana bentuk harus ditentukan. (Yuswadi Saliya, Dosen Arsitektur ITB, 1999).
  1. Form follows function (Louis Sullivan)
D.  KAIDAH  PERENCANAAN TATA RUANG
  1. Bagian-bagian ruang/bangunan yang berhubungan atau daerah dengan fungsi  kegiatan yang berkaitan supaya didekatkan.
  1. Ruang-ruang yang sejenis selain terletak berdekatan, juga harus terletak berurutan menurut proses kegiatan yang terjadi, agar tidak terpurtus  oleh kegiatan lain yang berbeda.
  1. Arus perpindahan lancar dan langsung, bila mungkin tidak terputus atau terpotong jalan silang dan jarak menjadi  “pendek”.
  1. Masing-masing kegiatan ditempatkan dibagian bangunan yang memadai  (luas, volume, penerangan, pengaahawaan dsb).
E. SIRKULASI atau PENCAPAIAN
Suatu (daerah) yang menghubungkan antara suatu tempat / ruang ke tempat / ruang lain. Ada 2 (dua) macam :
  1. Sirkulasi horizontal : : koridor, selasar, jalan penghubung
  1. Sirkulasi vertical : tangga (umum/darurat), elevator (lift), escalator (tangga berjalan), Ramp
Sirkulsasi vertical berfungsi sebagai :
  • pusat pengendali antar lantai
  • pusat aksesibilitas antar ruang
Kriteria sirkulasi :
  • efisien pemakaian (“pendek”,  mudah, aman)
  • memperlihatkan keterarutan (adanya bimbingan)
Tangga Umum
  •  “Dekat” pintu utama
  • Mudah dicapai dari berbagai bagian (sudut) banguan.
  • Memenuhi persyaratan perhitungan tangga.
  • Memenuhi persyaratan kenyamanan, keamanan & ketahanan
Tangga Darurat
  • Mudah terlihat.
  • Mudah dicapai dari berbagai bagian (sudut) bangunan.
  • Terbuka (berhubungan dengan udara luar).
  • Memenuhi persyaratan perhitungan tangga umum.
  • Memenuhi persyaratan kemanan dan ketahanan.
Main entrance (Pintu Utama)
  • kesan menerima
  • terbuka
  • mudah di capai
  • mudah terlihat
F.  AKSESIBILITAS
Faktor Pertimbangan Aksessibilitas :
  1. Kemudahan / langsung  : mudah dicapai, belokan minimal, jarak se”pendek” mungkin
  1. Keamanan : Cross minimal, hindari bottle neck, lebar jalan masuk = jalan keluar / distribusi keadaan darurat (kebakaran, gempa dsb)
  1. Logis : adanya bimbingan, penjelasan, penegasan (dalam bahasa arsitektur) : belokan ; simpang 2, 3, 4 dsb, memberikan arah
  1. Cukup penerangan – penghawaan
Tata letak kolom dan aksesibilitas
  • Kemudahan dan kenyamanan pelaksanaan kegiatan
  • Efisiensi ruang
  • Kemudahan dalam perencanaan struktur utama
  • Efisiensi utilitas bangunan
G. RENCANA TATA RUANG
  • Pentaan Ruang : proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
  • Rencana Tata Ruang : hasil perencanaan tata ruang
  • AZAS   : Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna, dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan
Tujuan Tata Ruang : adalah mencapai penataan ruang untuk :
  • mewujudkan keterpaduan  penggunaan ruang dengan memperhatikan proses kegiatan dan fungsi bangunan;
  • mewujudkan perlindungan fungsi ruang sehingga kegiatan yang diwadahi dalam berlangsung dengan baik dan lancar;
  • mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
H. TATA UDARA
-  Pengalaman membuktikan: sebuah ruang yang dihuni banyak orang, dengan udara tidak diganti dengan yang segar, akan cepat menjadi sangat tidak nymanan, bahkan dapat mengakibatkan kematian.
-  Tahun 1756 di penjara Calcutta disekap 146 pembrontak, esok harinya hanya 23 yang kedapan masih hidup
-  Ventilasi udara merupakan kebutuhan pokok yang tidak dapat diabaikan untuk kesehatan dan kenyamaan.
Kesehatan dan Kenyamanan
Syarat yang penting untuk kesehatan dan kenyamanan adalah mempertahankan keseimbangan panas (thermal) antara tubuh dengan lingkungan. Ini mencakup pemeliharaan perubahan suhu tubuh sekecil mungkin meskipun terjadi perubahan suhu yang besar pada lingkungan sekitarnya (luar).
keseimbangan panas, tergantung
  1. Faktor perorangan: aktifitas yang dilakukan dan pakaian yang dikenakan.
  1. Faktor-faktor lingkungan: radiasi matahari (pencahayaan), aliran udara (penghawaan), suhu dan kelembaban udara.
  1. Berat badan.

 I. PENCAHAYAAN
  • Penerangan alami (minimum 10 %), Faktor pengaruh
    1. ukuran dan posisi lubang cahaya;
    1. lebar teritis;
    1. faktor refleksi permukaan dalam dan luar bangunan; dan
    1. jarak antar bangunan.
  • Penerangan buatan, Kualitas pencahayaan yang dibutuhkan dalam ruangan ditentukan
    1. Kegiatan yang membutuhkan daya penglihatan mata;
    1. Lamanya waktu kegiatan yang membutuhkan daya penglihatan mata;
    1. Tingkat atau gradasi kekasaran dan kehalusanm jenis pekerjaan.
J.  TATA UDARA (PENGHAWAAN)
-   Penghawaan dalam bangunan diperoleh melalui ventilasi.
-   Ventilasi adalah pertukaran udara secara bebas dalam ruangan atau dapat pula diartikan sebagai lubang tempat udara dapat keluar masuk secara bebas
Fungsi ventilasi bangunan
  • Ventilasi untuk memenuhi kebutuhan kesehatan.
  • Ventilasi untuk memenuhi kebutuhan kenyamanan thermis
  • Kebutuhan ventilasi untuk kesehatan dipengaruhi
  • volume ruangan per-penghuni,
  • umur penghuni
  • Kebutuhan udara segar untuk kesehatan adalah antara 17 sampai 26 m3 perjam perorang (R.M. Soegyanto, 1981 ; 246).
  • Patokan kasar lubang ventilasi untuk penghawaan minimal 5 % dari luas lantai.

Suhu dan kelembaban udara.
  • Ruang dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu dan kelembaban udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal.
  • Suhu udara yang nikmat untuk tubuh manusia berkisar 70oF/21oC sedang kelembaban udara yang nikmat untuk tubuh manusia sekitar 40 – 70 % (Fisika Bangunan, Mangunwijaya  : 143)